Penulis: Ana Nurhasanah Surjanto, S.Pd.I., M.TESOL.
Awardee Beasiswa LPDP & Student Ambassador di Australia
Kontributor Artikel Keempat
Gambar 1. Ana Nurhasanah Surjanto, S.Pd.I, M.TESOL. saat di Australia
Assalamu'alaikum w.w
Para pembaca yang berhagia. Selamat datang di Blog Literasi Inovasi dan Prestasi Lintas Generasi. Pada edisi kali ini mari kita baca pengalaman kontributor keempat sebagai berikut:
Alhamdulillah, dengan
pertolongan Allah Ta’ala dan ridho Emak tibalah aku di Negeri Kanguru, tepatnya di Kota
Melbourne pada tanggal 14 Februari 2016. Saat itu cuaca panas namun diikuti
angin yang agak kencang dan itulah Australia
dimana musimnya kebalikan dengan Eropa. Jika Eropa lagi winter, maka Aussie summer
dan uniknya Kota Melbourne memang cuacanya dalam sehari bisa berubah-ubah. Ada
yang mengatakan kalau dalam sehari di Melbourne bisa ada 4 cuaca, paginya cerah
dingin, siangnya tetiba panas hujan, kemudian berangin dingin. Makanya,
Melburnian (orang Melbourne) sering memakai jaket dan membawa payung ketika
keluar rumah dan apapun itu musimnya. Inilah tantangan dan kehidupan baru di luar negeri dimulai.
Esok harinya perdana menjadi mahasiswa pascasarjana, aku
langsung mengikuti orientation week (O-week) atau kalau di Indonesia semacam Ospek. Bergegas aku
memilih mata kuliah selama setahun kedepan, mengunjungi booths di Plaza kampus, mencari informasi kehidupan kampus hingga
menggali kegiatan di luar akademik.
Lama-lama
aku mulai menikmati dinamika kampus, bergabung dengan komunitas-komunitas baik
mahasiswa internasional, klub olahraga Melburnian, dan perkumpulan mahasiswa
dan masyarakat Indonesia. Nampaknya berbagai hal ini yang membuatku betah di
Melbourne, sehingga aku tak mengalami culture
shock dan home-sickness. Kemudian
dalam tulisan ini, aku ingin menceritakan salah satu pengalaman berkesanku
menjalani kuliah di Monash University, yang mana aku terpilih menjadi salah
satu Student Ambassador kampus.
Apa
itu student ambassador dan pengalaman
apa yang didapat?
Awalnya
aku seperti kelompok minoritas karena aku menjadi satu-satunya mahasiswa dari
Indonesia yang mengenakan hijab dan bagian kecil dari prosentase mahasiswa
internasional yang menjadi student
ambassador (duta mahasiswa) di Monash University. Kemudian, situasi ini
justru mengajarkanku apa itu makna minoritas di tengah-tengah mayoritas.
Student ambassador
merupakan program ekstra kurikuler Monash University yang mana aku mewakili
Monash Education karena jurusanku TESOL (Teaching English to Speakers of Other
Languages) dibawah Fakultas Pendidikan. Tujuan program ini untuk
merepresentasikan dan mempromosikan fakultas kepada mahasiswa lama dan baru
serta memberi pengaruh positif terhadap komunitas di Monash.
Seleksi
program ini diselenggarakan setahun sekali dan hanya diambil 30 mahasiswa dari
S1 hingga S3 dari 3 kampus Monash tiap tahunnya.Kriteria seleksi yang
dipersyaratkan pun cukup tinggi seperti kecakapan dalam bahasa tulisan dan
lisan, mampu bekerja sama dengan tim, dan semangat berkontribusi. Melihat
bahasa Inggrisku yang pas-pasan dan harus bersaing dengan mahasiswa lokal dan
internasional, aku sempat ragu untuk mendaftar menjadi student ambassador.
Kemudian
kulihat-lihat kembali persyaratan-persyaratannya yang salah satunya ialah
semangat berkontribusi untuk komunitas. Berbekal niat tersebut, kemudian aku
mengisi formulir pendaftaran. Formulir tersebut berisi data diri, motivasi
mengikuti program, pengalaman berorganisasi dan kegiatan volunteering dan
kontribusi apa yang diberikan ke kampus jika terpilih. Akhirnya aplikasi aku
kumpulkan via online.
Dari
segi timing, mahasiswa yang baru
memulai kuliah bulan Februari (Semester Ganjil) akan lebih diuntungkan karena
seleksi ini hanya digelar setahun sekali dan pembukaan pendaftaran student
ambassador biasanya sejak 20 April. Seleksi penentuan akhir ialah wawancara
yang diselenggarakan pada akhir Mei hingga pengumuman resmi peserta terpilih
awal Juni.
Uniknya,
program student ambassador seperti di
Monash ini tidak bisa dijumpai di kampus-kampus lain di Australia. Saat
bertanya dan bercakap-cakap dengan teman-teman dari luar kampus, mereka
mengatakan bahwa tidak ada program student
ambassadors. Namun, tentunya di kampus ada program dari organisasi kampus
dan tiap fakultas biasanya memiliki student
association, misalnya kalau di Fakultas Pendidikan Monash juga ada Education Students Association (ESA).
Selanjutnya,
para student ambassador Monash
dibekali dengan latihan kepemimpinan, pertemuan antar kampus, menghadiri
workshops, conference dan menyelenggarakan berbagai acara dari Juli hingga
Oktober tahun ini.
Kegiatan
pada Semester Genap ini sebagai bekal pengembangan kepemimpinan dan pengakraban
sesama duta. Ini karena total 80 duta mahasiswa ini berasal dari jurusan yang
berbeda dari 3 kampus di kampus Berwick, Clayton dan Peninsula dan berbeda
strata dari mahasiswa bachelor hingga
doctoral dan beragam latar belakang.
Adanya
keberagaman latar belakang ini membuka pikiranku bahwa pikiran itu seperti
parasut, jika terbuka maka akan berguna. Jika pikiran itu aku biarkan tertutup
karena aku merasa seperti mahluk asing dan minoritas; berbeda karena mengenakan
hijab, berstatus mahasiswa internasional, dan kali pertama mahasiswa Indonesia
khususnya penerima beasiswa LPDP yang menjadi student ambassador di Monash,
maka aku tidak akan melihat dan merasakan betapa indahnya menjadi minoritas
dalam mayoritas ini.
Malahan
teman-teman ambassador sangat
mengapresiasi ide-ideku, menawarkan makanan halal
saat kegiatan dan memberi kesempatan untuk bergabung menjadi tim program tanpa
melihat identitas, latar belakang atau hal-hal diluar diriku. Aku juga pernah
terpilih untuk memberikan welcoming
speech untuk mahasiswa baru postgraduate
program yang datang ke Monash tahun ajaran Juli 2017.
Mereka
sangat menjunjung tinggi kesetaraan dan toleransi. Itupun seperti halnya yang
kupahami dalam ajaran agamaku bahwa Tuhan tidak akan melihat kecantikan,
ketampanan, kekayaan atau kedudukan seseorang selain daripada kepatuhan mereka
dalam menjalankan perintahNya.
Dari
pengalaman menjadi student ambassador ini
aku juga belajar bahwa kedamaian adalah kunci yang harus aku gunakan dimanapun
aku berada. Jauh dari keluarga, merantau meninggalkan kampung halaman dan
menghadapi perbedaan di negeri orang memotivasiku untuk banyak bergaul dan
mencari pengalaman baru. Dari situ pikiran akan terbuka dan sadar bahwa
perbedaan bukanlah penghalang untuk mengaplikasikan perdamaian dimanapun aku
berada.
Penulis: Ana
Nurhasanah Surjanto, S.Pd.I., M.TESOL.
Instagram:
@ana_surjanto, YouTube: Ana Surjanto
Catatan: Bagi pembaca yang ingin berbagi pengalaman menarik dan karya inovasi, naskah dapat dikirim melalui email: literasiinovasiprestasiblog@gmail.com
Wassalamu'alaikum w.w
Redaksi
Dr. Budiyono Saputro, M.Pd